Refleksi Juara Kahf IA-ITB Cup 2025 – Banyak yang Didapat setelah Juara
Sudah seminggu lebih berlalu setelah kemenangan IAFI ITB di Kahf IA-ITB Cup 2025. Turnamen sepak bola terbesar antar alumni jurusan ITB ini sangat bergengsi. Bisa dilihat dari antusiasme seperti penuhnya lapangan sepak bola untuk latihan tim jurusan, sponsor dari masing-masing tim, persiapan orang-orang secara individu (secara tidak langsung, “dipaksa” untuk menjaga kondisi dan berolahraga”.
Pada tulisan ini, penulis ingin merefleksikan diri dan tim… setelah kemenangan dan juara yang ditunggu selama dua tahun ini. Tidak hanya sekedar dapat piala, uang hadiah, medali, dan glory.
1. Dinamika dalam Tim adalah suatu Kepastian
Dinamika hubungan dalam tim pasti ada. Ditambah ini adalah tim alumni jurusan yang range generasi besar, sehingga rentan generation gap, sehingga komunikasi menjadi lebih sulit dan rawan terjadi konflik. Pasti, setiap tim mengalami ini, termasuk IAFI. Namun, tim yang berhasil menangani masalah dinamika ini adalah yang berpeluang besar untuk juara.
Mengutip teori dialektika relasional dari Leslie Baxter dan Barbara Montgomery. Hubungan itu pasti tidak linear dan naik turun.
2. Kalau mau Menang, maka Usaha dan Doa
Kalau mau menang, maka harus ada usaha dan doa yang dilakukan, tidak bisa salah satu saja. Usaha minim, tetapi tidak ada doa, itu berarti sombong. Doa tanpa usaha, ya sia-sia saja. Usaha ini harus dilakukan bersama-sama karena sepak bola adalah olahraga tim. Untuk doa, pasti akan selalu ada doa bersama sebelum bertanding. Ini penting, tetapi terkadang orang-orang lupa.
Aku berusaha dengan rutin main sepak bola. Bangun pagi dan latihan di weekday. Pemain IAFI dari Bandung juga effort untuk ikut latihan di Jakarta. Itu adalah dedikasi. Mau dibilang lebay? Ya silahkan saja. Mereka berkorban uang, waktu, usaha, dan tenaga. Jadi, wajar reward-nya akan lebih besar.
3. Doa Orang Tua itu Makbul
Yang aku lakukan sebelum pertandingan adalah meminta doa dari orang tua. Alhamdulillah, orang tuaku masih hidup, jadi aku tidak ingin menyia-nyiakan “pintu surga” ini. Ternyata, doa orang tua itu benar-benar kuat. Karena hal ini, aku juga semakin ingin terus berbakti kepada mereka. Tentu bukan karena ada keinginan saja, tetapi karena kewajiban sebagai anak.
4. Tidak Peduli Sebaik Apa pun Orang, pasti akan Ada Pembenci
Aku terkadang mendengar kabar miring mengenai tim sendiri, entah itu karena “dendam” dari masa lalu, memang pembenci saja, atau ya memang ada orang dengan mental kepiting saja. Aku sendiri tidak peduli dengan hal-hal itu. Orang sebaik apa pun pasti ada pembencinya. Sekelas manusia sempurna, yaitu Rasulullah, Nabi Muhammad SAW saja ada pembencinya, apalagi kita orang biasa yang tidak luput dari kesalahan.
5. Detoks dari Media Sosial Cukup Berguna
Menahan diri untuk tidak mengepos apa pun di media sosial, termasuk mengurangi untuk konsumsi media sosial, ternyata bisa membantu fokus. Makanya aku puaskan diri untuk posting setelah turnamen. Juara dulu, baru posting kemudian.
6. Support Keluarga adalah Kunci
Aku didukung oleh istri dan anakku. Ini juga adalah kunci agar bisa terus bisa bermain dengan baik. Support dari fisik dan mental sangat berguna sebelum dan sesudah bermain.
7. Hormati Pelatih, Manajer, dan Senior
Ini bisa dibilang lanjutan dari nomor 1. Sekesal apa pun kamu, tetap jangan lupa untuk hormati pelatih, manajer, dan senior. Aku terus berpegang pada prinsip ini sejak remaja. Meski terkadang tidak sependapat atau rasanya ingin berteriak, aku tahan terus. Kalau bisa, jika ada yang tidak disukai, bicara empat mata saja.
Tidak worth it untuk “membakar jembatan” alias memutuskan tali silaturahmi hanya karena perkara sepak bola. Bisa saja di kemudian orang yang kamu benci, malah justru menjadi penolong di hidupmu. Jangan terlalu benci atau pun terlalu baik dengan orang lain.
Menurut social exchange theory atau teori pertukaran sosial. Hubungan dilihat dari cost-benefit. Kalau menurutmu memutus hubungan itu worth it, aku harap, kamu sudah menghitung cost dan benefit-nya dengan benar.
8. Punya Mental Tidak Mau/Benci Kalah itu Perlu
Dalam pertandingan, pasti ada yang menang dan kalah. Kedewasaan adalah bagaimana cara menerima kekalahan itu. Untuk menang, perlu adanya mental benci atau tidak mau kalah. Bahkan aku jadi mengenal diri di mana ternyata benci kekalahan karena hasil “seri” di pertandingan pertama yang menurutku, timku itu “kalah” dan hanya beruntung saja bisa menyamakan keadaan.
9. Fokus Bermain dengan Benar dan Bagus, bukan Bermain untuk Statistik atau Piala
Pada turnamen, terdapat statistik yang bisa jadi bahan konten dan juga piala bergengsi. Pemain yang fokusnya hanya di hal-hal seperti itu akan terdistraksi dan mungkin saja tidak fokus untuk main sesuai dengan strategi tim.
Daripada fokus ke sana, lebih baik fokus ke main yang benar dan bagus. Hasilnya, aku:
- Bek terbaik Kahf IA-ITB Cup 2025
- Best XI Kahf IA-ITB Cup 2025 (LB)
- Masuk top statistik di intersep, tekel, operan, cross, long ball, key pass, dan chance created
10. Hormati Lawan
Mau apa pun hasilnya, tetap hormati lawan tanding. Jangan ada provokasi atau pun reaksi berlebihan.
Selalu ingat, jangan sampai putus tali silaturahmi karena sepak bola.
Main bola itu orangnya itu-itu saja kok. 4L: lo lagi lo lagi.
11. Rasa Puas dan Cukup itu Ada, tapi Tidak Boleh Berlama-Lama
Sejujurnya, ada rasa plong, puas atau pun cukup. Namun, hal ini tidak boleh lama-lama untuk dirasakan. Ingat bahwa tahun depan, akan menjadi title defender. Mempertahankan itu lebih susah daripada meraih.
12. Untuk Juara, Mental lebih Dibutuhkan Ketimbang Skill
Final kemarin cukup membekas pada diriku. Memang benar bahwa di partai puncak atau di mana kalah = game over, mental lebih dibutuhkan daripada skill. ALKA adalah tim yang pantas masuk final, mental mereka benar-benar kuat. Namun, kami juga tidak akan kalah soal mental. Kami tidak sekali mengalami ketertinggalan gol atau pun mengejar skor.
Turnamen Antar Alumni Kampus itu Banyak Manfaatnya
Banyak refleksi dari aku sendiri setelah IAFI ITB juara Kahf IA-ITB Cup 2025. Secara umum, turnamen ini bisa membantuku untuk tumbuh, tidak hanya dari segi olahraga, tetapi sebagai manusia.
Semoga turnamen ini terus berlanjut di kemudian hari.