Ketika kita ingin mengirimkan pesan ke A, pastinya pesannya akan berbeda dengan ke B. Alasannya ada banyak hal, seperti setiap orang punya decoding atau interpretasi yang berbeda serta aspek tidak terlihat/terlihat yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang tidak efektif. Nah, proses dalam penyusunan pesan ini disebut dengan encoding.
Proses encoding ini tidak hanya dipraktekkan dalam keseharian saja, bahkan ketika melakukan kampanye seperti A/B testing copies untuk CRO, menulis judul dengan power words, menentukan warna pada gambar, dll.
Yuk kita telusuri tentang encoding!
Dikutip dari buku Communication & Human Behavior Edisi ke-7, encoding adalah mengubah/mengonversi suatu ide/gagsan menjadi pesan. Contoh sederhananya adalah pemilik blog ini menuangkan gagasan (encoding) dalam bentuk blog post.
Proses encoding sangat penting karena pesan yang kita buat bisa ditranslasi atau diinterpretasi (decoding) dengan benar oleh decoder.
Encoder yang gagal melakukan encoding dapat menyebabkan miskomunikasi. Akibatnya bisa beragam, dari skala kecil hingga besar, misalnya:
Jadi, hati-hati dalam proses encoding. Tim editorial seperti content writer dan tim desain seperti graphic designer harus encoding pesan dengan benar kepada target audiens mereka.
Dikutip dari Four Weeks MBA, berikut proses dalam encoding:
Bahasa itu penting, bahkan termasuk lokalisasinya.
Contohnya, ketika mengirim pesan ke orang arab, pakailah bahasa dan huruf mereka, bukan bahasa Inggris atau huruf alfabet. Selain bahasa, simbol juga bisa kita tentukan saat encoding.
Semakin familiar bahasa antara encoder dan decoder, proses komunikasi akan semakin mudah dan sebaliknya.
Dalam model komunikasi lama atau pun baru, medium adalah bagian yang vital.
Penentuan kanal/medium dari komunikasi adalah bagian penting pada encoding karena penyusunan pesan harus mempertimbangkan, apakah penyampaiannya harus memakai visual, teks, atau audio.
Contohnya, kalau mau berkomunikasi secepat mungkin, maka teks dan aplikasi pesan singkat akan sangat membantu daripada gambar visual yang butuh waktu dalam pembuatannya (apalagi kalau tidak pakai AI).
Contoh encoding pada marketing adalah penyusunan teks iklan dengan formula copywriting. Misalnya, seorang copywriter menggunakan formula PAS agar seseorang sadar akan suatu masalahnya dan solusi yang ditawarkan oleh brand. Bahasa pada teks yang digunakan juga menyesuaikan dengan buyer persona.
Efeknya, target pasar yang melihat iklan tersebut akan membeli “solusi” yang kita tawarkan kepada mereka.
Contoh encoding dalam public relation adalah penyusunan press release dalam manajemen krisis atau pengumuman suatu hal yang berkaitan pada perusahaan.
Pada press release manajemen krisis, penyusunan pesan (encoding) menggunakan bahasa baku, ada permintaan maaf, perjanjian agar tidak terjadi kesalahan yang sama, beserta action plan selanjutnya.
Contoh encoding dalam komunikasi interpersonal adalah memakai pesan khusus kepada orang yang kita cintai. Misalnya, suami menggunakan emoji love atau “sayangku” kepada istrinya sebagai kata ganti. Selain itu, ada juga diksi yang khusus yang hanya mereka pahami.
Memakai kata umpatan kepada teman baik sebagai bentuk keakraban juga merupakan contoh encoding pada komunikasi interpersonal.
Contoh encoding dalam komunikasi grup adalah memakai bahasa yang cukup dimengerti oleh grup tersebut. Misalnya, memakai kode morse pada grup pramuka yang sedang camping.
Contoh encoding dalam komunikasi organisasi adalah penyusunan pesan oleh HR (human resource) kepada karyawan. Karyawan expat akan mendapatkan pesan yang berbeda dengan karyawan Indonesia untuk menghindari kesalah pahaman atau miskomunikasi.
Karyawan expat akan mendapatkan pesan dengan bahasa Inggris atau native language mereka. Sementara itu, karyawan Indonesia akan mendapatkan pesan dengan bahasa Indonesia yang baku.
Dalam komunikasi massa, encoding berperan penting untuk framing atau menunjukkan kecenderungan/stance terhadap suatu isu.
Contohnya, penulis berita menulis judul “A berpesta miras, padahal duta anti alkohol” dan “A yang suka beribadah tertangkap basah sedang berpesta miras” akan menimbulkan kesan berbeda pada decoder.
Yang bertanggung jawab atas encoding adalah encoder atau orang yang menyampaikan pesan.
Meski di model komunikasi lama seperti Lasswell bersifat linear dan tidak ada umpan balik, penyusunan pesan harus mempertimbangkan umpan balik yang mungkin ada atau dengan kata lain, menitik beratkan di receiver-nya.
Percuma bukan kalau pesannya tidak dipahami atau disalah interpretasikan oleh decoder atau penerima pesan?
Perhatikan juga aspek terlihat dan tidak terlihat pada komunikasi ketika encoding 🙂
Bagi setiap profesi, tidak hanya editorial dan desain serta marketing, proses encoding dalam komunikasi itu sangat esensial.
Ingat bahwa encoding adalah tanggung jawab encoder, jadi bertanggung jawablah sejak menyusun pesan, jangan sampai ketika “nasi sudah jadi bubur” baru salah-salahan atau marah. Komunikasi itu irreversible!
Mari berkomunikasi dengan bijak lewat melakukan encoding yang benar 🙂
Referensi:
Ruben, D. B., & Stewart, P. L. (2020). Communication & Human Behavior Seventh Edition. Westmark Drive: Kendall Hunt.
https://fourweekmba.com/encoding-in-communication/
Kembali lagi ke studi kasus SEO. Kali ini, pemilik blog ini ingin mengetahui apakah jika…
Salah satu day to day pekerjaan orang SEO adalah membuat laporan atau report tentunya. Namun,…
Kalau kamu mau jadi praktisi SEO, pasti penasaran bagaimana day to dayatau keseharian dalam pekerjaan mereka.…
Kalau kamu sering dengar cara optimasi SEO, mungkin kamu akan dengar kisah sukses. Namun, ada…
Kebutuhan cetak berkualitas tinggi dalam volume besar semakin meningkat di era sekarang ini. Mulai dari…
Kamu lagi cari motor bukan sembarangan motor? Motor kelas premium yang berbeda dengan yang lainnya?…