Kalah di Final – Nyeseknya Beberapa Hari, Pelajarannya Dipetik untuk Selamanya
Kalah di Final – Nyeseknya Beberapa Hari, Pelajarannya Dipetik untuk Selamanya
Sudah 2 bulan berlalu sejak final IA-ITB Cup 2023. Aku yang membela IAFI (Ikatan Alumni Fisika) ITB masih ingat betul betapa menyesakkannya kalah di final melawan IAE (Ikatan Alumni Elektro) ITB.
Wajar saja nyesek, kapan lagi jurusan fisika bisa juara turnamen? Masuk final saja kayaknya banyak orang yang kaget. Menjadi underdog itu memang menyenangkan karena tekanan dan ekspektasi tidak setinggi tim favorit juara, tetapi kami menyiapkannya dengan serius. Setiap team meeting, kami menghabiskan waktu minimal 2 jam untuk berdiskusi untuk pertandingan selanjutnya dan evaluasi pertandingan sebelumnya, datang lebih awal agar bisa pemanasan dengan benar, dan usaha serta “pengorbanan lainnya”.
Juara itu cuma 1, gak ada namanya juara 2, 3, apalagi harapan. Memangnya kalau ada pertanyaan “siapa tim yang juara” orang-orang akan menjawab juara 2, 3, atau harapan? Jelas mereka akan menjawab tim yang juara 1.
Malam final yang menyedihkan itu masih ada di memoriku. “Harusnya aku yang disana, harusnya aku yang memegang piala besar itu” dan berbagai pengandaian lainnya. Namanya juga manusia, suka berandai-andai jika hal yang ia inginkan tidak menjadi kenyataan, apalagi kalau keinginannya tersebut ternyata sudah di depan mata. Almost is never enough.
Selesai final, aku tidak tidur karena sesakit itu rasanya. Ingin menangis, air mata juga sudah kering. Istriku yang berusaha menghibur juga kebingungan. Rasa ingin bekerja juga malas, bawaannya pengen ambil cuti saja. Eh, tapi gak sampai menyetel lagu gloomy sunday kok hehe.
Setelah beberapa hari, akhirnya bisa legowo juga…. sepertinya. Dari kalah di final tersebut, aku mendapatkan ilmu/pelajaran yang aku bisa praktekkaan seumur hidup. Apa saja?
1. Menerima Kekalahan Itu Sulit, tetapi Wajib
Memangnya ada orang yang senang kalau kalah? Kalau ada, itu mungkin jika orang tersebut memasang tim yang ia lawan untuk menang dalam judi. Jadi, kalau pun timnya kalah, ia masih dapat uang. Kalau di DotA 2, hal tersebut jadi asal-muasal dari “322”.
Menerima kekalahan adalah bagian tersulit dalam pertandingan. Pasti banyak alasan yang dicari tentang “mengapa bisa kalah?” Mulai dari menyalahkan teman yang dianggap bermain tidak optimal, pemain kunci tidak hadir, wasit yang kurang adil, lawan yang curang, dsb. Namanya juga manusia, kalau sedang tertekan/terancam, respon fight-or-flight-nya akan aktif.
Dalam kompetisi, harus ada yang menang dan kalah. Kalau ada yang menang, maka harus ada yang kalah. Nature-nya kompetisi ya seperti itu, tidak bisa semuanya menang. Jadi, kalau tidak bisa terima kekalahan, ya lebih baik tidak usah ikut kompetisi dari awal.
Menerima kekalahan itu sangat mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan karena pada dasarnya, manusia suka berandai-andai tentang hal yang ia bisa lakukan lebih baik. Karena itu juga pemenang medali perunggu biasanya lebih bahagia ketimbang pemenang medali perak.
Tidak perlu instan dalam menerima kekalahan kok. Biarkan beberapa hari/minggu untuk menerima hal tersebut. Lagipula, usai pluit wasit ditiup, hasil tidak akan bisa diubah… kecuali punya mesin waktu untuk balik ke masa lalu.
Terima kekalahan, move on, usaha lagi untuk mendapatkan juara 1!
Setiap orang, bahkan atlet profesional sekali pun pasti pernah mengalami kekalahan. Jadi, kita tidak sendirian!
2. Mentalitas dalam Kompetisi Itu Vital
Jaman saat remaja dan masih main di liga serta latihan sepak bola rutin, pelatihku selalu mengatakan bahwa di dalam kompetisi, mental yang bicara, bukan skill. Pemain yang skill-nya biasa aja, tetapi punya mental yang kuat bisa mengalahkan pemain dengan skill luar biasa, tetapi mentalnya payah.
Omongan pelatihku beberapa tahun lalu terbukti di final. Terlihat beberapa mentalitas pemain turun di masing-masing tim. Pemain yang biasanya bermain dengan optimal jadi membuat kesalahan yang tidak perlu.
Saat di final, banyak sekali penonton yang menonton langsung dari tribun lapangan. Belum lagi ribuan orang yang menonton via YouTube. Banyak orang yang ingin menyaksikan laga final pertama dalam turnamen sepak bola antar alumni jurusan pertama dalam sejarah alumni ITB.
Kalau aku, santai saja dengan supporter lawan. Mereka hanya bisa banyak bicara, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa di lapangan. Semakin mereka berisik atau menghujat, justru semakin semangat diriku untuk membungkam mereka. “Mendiamkan” supporter lawan yang berisik dan menghujat itu ada kepuasannya tersendiri. Sayangnya, pemain lain belum tentu kuat mental karena tekanan dari supporter lawan.
Kabar buruknya, mental yang bagus dalam pertandingan itu sesuatu yang tidak bisa dilatih. Hanya bisa didapatkan dari jam terbang saja. Jadi, punya pemain dengan jam terbang tinggi pada tim itu adalah aset yang berharga.
Cara punya mental baja saat pertandingan adalah:
- Terapkan teknik pernapasan sebelum pertandingan
- Perbanyak jam terbang
- Yakin dengan usaha yang sudah dilakukan
- Percaya satu sama lain
- Jangan meremehkan dan takut dengan lawan
- Berdoa
- Melakukan hal-hal yang biasanya adalah pelampiasan stres dan meningkatkan mood sebelum datang ke lapangan
- Datang lebih awal ke lapangan, tunjukkan kalau lebih siap dari awal sejak dari pemanasan dan datang ke pertandingan
- Lakukan selebrasi usai gol tercipta
3. Tanggapi Respon Negatif dengan Santai
Kalau di Twitter ada yang gagal saat tendangan penalti atau bikin kesalahan konyol, bahkan kalah, pasti sudah jadi bahan gunjingan dan cemoohan warganet.
Saat kalah, pastinya ada saja yang senang dan juga sedih. Kalau ada respon negatif ya santai saja, terapkan “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Justru lucu kalau yang kalah malah paling banyak omong. Pemenang membuat sejarah, sementara yang kalah membuat alasan.
Cara merespon /menyikapi suatu konflik/hal yang kurang tidak enak dilihat/dirasakan juga jadi cerminan kedewasaan seseorang.
Tidak mungkin kan karena marahan dengan bos, lantas bosnya langsung ditonjok? Yang ada langsung dipecat/dilaporkan ke polisi kalau responnya seperti itu.
4. Yang Terpenting, Apa yang Dilakukan setelah Kalah?
Habis kalah, disinilah perbedaan mental pemenang dan bukan pemenang. Setelah kalah, orang dengan mental pemenang akan cepat bangkit. Prinsipnya, jatuh 99x, bangkit 100x.
Bagaimana dengan orang yang bukan mental pemenang? Mereka mungkin masih berbaring dan merenung, tetapi belum/tidak mau ada usaha untuk memperbaiki. Yang terburuk, mereka menyerah dan enggan untuk lanjut.
Ingat, finalis dan juara hanya masa lalu. Jaminan juara/final lagi tahun depan itu tidak ada. Biasanya justru tim/orang yang sudah kalah duluan (bukan finalis) itu motivasinya jauh lebih tinggi.
Jangan sampai kelamaan berbaring atau hanya melihat ke depan saja, sehingga lupa kalau ada orang lain yang berusaha untuk “mengejar” dari belakang.
5. In The End, You Get What You Work For, Not What You Wish For
Allah itu maha adil. Rezeki itu tidak akan pernah salah alamat. “Kamu akan mendapatkan apa yang kamu usahakan, bukan apa yang kamu inginkan”.
Kalau kalah di final, ya berarti itulah buah hasil dari seluruh perjuangan. Bukan berarti hasilnya tidak maksimal, justru itulah hasil maksimal yang bisa didapatkan. Jika ingin juara, berarti masih perlu berproses lagi dan lagi.
“Usaha tidak akan mengkhianati hasil”.
Pelajaran setelah Kalah di Final bisa Diterapkan Seumur Hidup
Setelah kalah di final, kecewa itu hal yang wajar dan manusiawi. Justru aneh kalau kalah, tetapi tidak merasakan emosi negatif.
Yang terpenting, saat kalah di final:
- Terima dengan ikhlas
- Pahami kalau punya mental baja itu yang terpenting dalam pertandingan
- Tanggapi respon negatif orang-orang dengan santai
- Bagaimana respon setelah kalah?
- Percaya kalau ini adalah hasil yang maksimal dan secara adil diberikan oleh Allah SWT
Uniknya, pelajaran ini juga tidak hanya bisa diterapkan kalau kalah di final laga sepak bola saja, tetapi juga kalau kalah di lomba lainnya (seperti kalah lomba blog, kompetisi kesenian, dan turnamen olahraga lainnya). Bahkan, bisa diterapkan selamanya.
Mari terus belajar… Jangan sampai kekalahan membuat kita menyerah 🙂