Revisi – “Menakutkan” tetapi Diperlukan?
“Revisi”, mungkin kata tersebut adalah kata yang dibenci atau bikin jengkel mahasiswa atau pekerja kreatif seperti content writer dan graphic designer. Sudah capek-capek berkarya, masih direvisi lagi dan lagi.
Loh, memangnya apa itu revisi? Mengapa harus dilakukan? Apakah wajib?
Apa itu Revisi?
Revisi adalah perbaikan atau pembetulan. Perbaikan atau pembetulan ini identik pada konteks karya, baik itu karya akademik seperti skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal ilmiah atau pun karya non akademik seperti artikel blog post, infografis, poster, dan karya lainnya.
Apakah Revisi pada Karya itu Wajib?
Jawabannya adalah tidak wajib, namun sangat direkomendasikan untuk dilakukan. Contohnya, kalau suatu konten sudah memenuhi content brief dengan baik, buat apa ada revisi?
Meski demikian revisi tetap menjadi bagian penting dalam flow penciptaan suatu karya.
Mengapa Revisi itu Penting?
Revisi itu penting untuk memperbaiki atau pun membetulkan kesalahan atau menyempurnakan suatu karya. Ingat bahwa ada prinsip kalau draft pertama pasti ada kesalahan.
Dengan adanya revisi, suatu karya akan punya kesempatan lebih kecil untuk memiliki kesalahan ketika sudah dipublikasikan ke khalayak atau dengan kata lain dikirim ke ruang publik.
Lebih baik diperbaiki saat masih belum dipublikasikan daripada diperbaiki ketika ada komplain dari khalayak. Reputasi bisa jadi taruhannya 🙂
Bagaimana Cara Melakukan Revisi dengan Benar?
a. Baca atau Dengar Masukan dari Editor atau Reviewer dengan Seksama
Perintah revisi pastinya datang dari editor atau reviewer. Baca atau dengarlah masukan mereka dengan seksama agar tidak terjadi revisi untuk kedua kalinya atau lebih dari itu.
Jika ada hal yang tidak dimengerti, jangan sungkan untuk bertanya kepada mereka.
b. Lakukan dengan Ikhlas dan Fokus
Masukan editor atau reviewer mungkin sangat menjengkelkan, sehingga kita jadi tidak ikhlas dan fokus saat revisi.
Kita juga harus dewasa dan legowo ketika mendapat kritik. Kalau memang tidak suka dengan gaya komunikasi dari editor/reviewer, beri saja masukan atau tidak perlu berkarya dengan editor seperti itu.
Saat revisi pastikan melakukannya dengan ikhlas dan fokus ya:)
c. Tawarkan Room for Improvement
Jika dari revisi yang telah dilakukan sebenarnya ada ruang untuk lebih dikembangkan lagi, jangan ragu untuk menambahkannya. Bahkan lebih baik lagi jika kamu memberi tahu editor untuk approval.
Apakah jika Banyak Revisi, Berarti Karyanya Jelek?
Jawabannya relatif. Namun, jika karyanya banyak revisi, besar kemungkinan karyanya tidak memenuhi brief yang sudah ada atau perlu adanya konsumsi literatur yang lebih banyak lagi oleh pembuat karyanya.
Cara agar Karya Tidak Banyak Revisi
Caranya mudah diucapkan, tapi tidak mudah untuk dilakukan. Beberapa tips agar karya tidak banyak revisian:
- Baca content brief dengan baik
- Pastikan ide dan konsep yang ditanam pada karya telah sesuai dan koheren
- Lakukan swasunting
- Perbanyak baca literatur atau karya sebelum-sebelumnya
Perbedaan Revisi dan Penyuntingan
Revisi berfokus pada pembetulan, termasuk hal yang bersifat konseptual dan struktur secara keseluruhan, tidak hanya sekedar menemukan typo. Penyuntingan biasanya bersifat mikro seperti mengoreksi struktur kalimat atau kata yang salah.
Bagaimana Cara agar Karya Minim Revisi?
Tidak ada cara khusus. Yang terpenting adalah pastikan bahwa karyamu telah sesuai dengan brief. Mengenali selera editor atau pun reviewer juga adalah tips yang ampuh agar karya kita minim revisi. Mau bagaimana pun juga, editor dan reviewer adalah manusia yang punya bias. Selain itu, lihat juga karya yang pernah tampil. Kira-kira, karya yang terbit seperti itu lah keinginan dari editor atau pun reviewer.
Jangan Menyerah jika Disuruh Revisi
Revisi terkadang menjadi alasan demotivasi, tetapi seharusnya hal ini menjadi pecutan dan bantuan agar karya kita bisa lebih baik. Jadi, jangan menyerah dalam berkarya ya:)
Bagaimana pengalamanmu ketika disuruh revisi?